Sabtu, 02 April 2016

Pergi lalu Datang

Ini Namanya Cinta?


Aku berjalan ke arah pesisir pantai.
Ombak yang bergulung menyapaku lembut.
Angin bergerak ke arah laut sedang menungguku.
Menungguku untuk bertegur sapa dengannya.
Burung-burung yang berbunyi tengah melihatku tersenyum hangat.
Aku memang berjalan sendirian.
Tapi hatiku tak sendiri.
Ada namanya di sana.
Sedang yang si punya nama sudah pergi dahulu ke alam baka.

Aku mengikhlaskan kepergian itu.
Sampai ombak tak lagi bergulung lembut.
Tapi,  lebih kasar dan juga marah.

Ombak tahu, aku sedang berpura-pura.
Terima kasih sudah mengingatkan, wahai ombak.
Pasir ini semakin lama ku lihat berubah menjadi biru.
Langitpun berubah menjadi biru.
Semua yang kulihat menjadi biru, agak kelabu.
Pahit, namun manis—kenangan kita.

Maka aku tersenyum menganggap semuanya itu nyata, padahal hanya derita.
Seisi semesta bilang, aku harus kembali menikmati hidup ini.
Tapi yang hatiku bilang, tak ada celah untuk membuka lagi.
Rasanya sudah mati.

Sampai seseorang menepuk pundakku, dan naasnya aku menatap matanya yang tajam seperti elang yang mencari mangsa.

"Mbak,  ngapain sendirian di sini?" tanyanya.

Aku tak tahu harus berkata apa, kemudian aku menarik napas dalam. "Saya menunggu rindu saya hilang di sini," kataku.

Tapi dia terkekeh, "Saya juga sedang menunggu..." jedanya sebentar, lalu aku menatapnya dengan tanya.

"Menunggu kamu pergi bersama saya," katanya.

Aku sekarang mengerti, benar kata semesta.
Ada yang menunggu ku dibalik aku sedang menyepikan diri.
Ada yang datang kepadaku ketika aku sedang menunggu.

Aku tersenyum kepadanya, "Terima kasih, karena sudah menunggu saya."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar